Tidak ada seorang pun yang ragu bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi kemelut politik dalam negeri yang paling membingungkan dan sekaligus berkepanjangan. Kemelut politik yang membingunkan pemimpin Indonesia tersebut semakin ‘runyam’ dan bertambah dengan adanya konflik politik negara yaitu tuntutan pisah dari dua propinsi paling barat dan timur Indonesia. Kemelut ini semakin mengkhawatirkan elit politik Indonesia karena rakyat dan juga organisasi kemasyarakatan pun mengambil bahagian dalam ‘pertempuran’ politik tersebut.


Sekilas memang terlihat ironi dan menyedihkan. “Sudah jatuh ditimpa tangga pula”. Itulah kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Indonesia sekarang. Kehancuran ekonomi yang berlarut-larut tanpa penyelesaian, ditambah lagi dengan runtuhnya kewibawaan pemimpin nasional telah cukup menjadi tanda bahwa hal yang demikian merupakan ‘petaka’ akibat akumulasi kesalahan-kesalahan yang dibuat dari dahulu sampai sekarang terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap ‘peripheral community’ khususnya rakyat Aceh dan Irian Jaya.

DPR telah ditantang untuk memperlihatkan kekuatannya untuk menurunkan posisi presiden Gus Dur yang terbukti melakukan penyelewengan keuangan (Bulog gate dan Brunei gate) untuk kepentingan individu dan golongan. Di sisi lain pula, Gus Dur berkeras tidak mau turun dari kursinya dengan mengajak simpatisannya (NU dan PKB) melawan orang-orang yang ‘menggoyang posisi’ nya. Pihak DPR merasa Gus Dur tak layak lagi menjadi presiden, sementara Gus Dur dan simpatisannya ngotot mempertahankannya. Hal ini sungguh sangat lucu dan (mohon maaf) menjijikkan. Bukan karena pertengkaran politik antara DPR – Gus Dur yang hanya lelucon kanak-kanak seperti yang pernah Gus Dur nyatakan di DPR pada awal pengangkatannya, tetapi lebih kepada ‘impunity’ pihak pemerintah, elit politik, organisasi kemasyarakatan dan bahkan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya terhadap pembantaian rakyat di Aceh dan Irian Jaya.

Sekilas nampak pada kita bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan Irian Jaya adalah sesuatu yang ‘remeh dan enteng’ dalam kacamata Indonesia dibandingkan dengan permainan teka-teki politik Jakarta. Berpuluh-puluh korban berjatuhan setiap hari di kedua daerah tersebut, sedangkan beribu-ribu lagi mengungsi ke tempat aman untuk menghindar diri dari ‘peluru nyasar’ aparat keamanan. Bualan politik Jakarta lebih bermakna ketimbang nyawa dan kehidupan rakyat yang hal ini sungguh berbeda jika kita bandingkan dengan negara-negara lain yang tega bersusah payah menyelamatkan satu orang warga negaranya.

Pengaruh terhadap Aceh

Secara kacamata awam bagi Aceh, kemelut politik di Jakarta semakin memperteguh keyakinan dan semangat untuk melepaskan diri dari Indonesia. Kepercayaan rakyat Aceh kepada Indonesia sekarang ini yang hanya 8% ( hasil jajak pendapat SIRA tahun 2000) menurun kepada 1% atau bahkan turun kepada titik terendah 0% (!) jika melihat sikap pemerintah dan elit politik yang saling ‘mencakar’ tanpa penyelesaian, ditambah lagi krisis ekonomi yang tak dapat diselesaikan. Artinya rakyat Aceh melihat tidak ada keuntungan dan manfaat apapun baik dari segi syariat Islam maupun segi ekonomi-politik jika tetap bergabung dengan Indonesia. Bahkan kezaliman dan ketidakadilan yang berterusan yang akan diterima jika tetap berpayung di bawah bendera RI.

Dari kacamata gerakan gerilya, situasi seperti ini akan memudahkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk melumpuhkan pihak serdadu Indonesia disebabkan konsentrasi mereka yang terpecah baik dari segi kekuatan maupun segi psycology (kejiwaan). Dari segi kekuatan, jika perseteruan politik Jakarta berkembang menjadi ‘chaos’ maka mau tidak mau, TNI/Polri mesti menyebarkan kekuatannya kepada tempat-tempat chaos tersebut. Kalaulah sebahagian besar (kalau tak semua) propinsi terjadi keadaan chaos tersebut, tidakkah TNI/Polri menarik serdadunya dari tanah Aceh? Dari segi kejiwaan pula, TNI/Polri akan menyadari bahwa mereka hanyalah menjadi alat kepada pemerintahan yang tak berwibawa dan tak profesional alias tak becus serta menyadari bahwa mereka telah menjadi ‘umpan’ kepada gerilyawan GAM hanya dengan alasan mempertahankan konsep NKRI yang tidak jelas.

Dari pandangan masyarakat dunia pula, kemelut politik Jakarta telah meyakinkan mereka bahwa Indonesia adalah sebuah negara tak berstruktur yang tak jelas kuasa hukum atas tiap-tiap lembaga dan institusi. Hal akan menyimpulkan mereka bahwa keinginan memisahkan diri rakyat Aceh dari Indonesia adalah wajar dan dapat diterima.

Satu hal yang perlu mendapat perhatian seluruh rakyat Aceh atas kemungkinan terjadinya kudeta oleh pihak TNI/Polri terhadap pemerintahan Indonesia. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin semua permasalahan yang ada termasuk konflik Aceh akan diselesaikan secara militery approach (represif) oleh TNI/Polri. Jika ini berlaku, maka semua rakyat Aceh wajib mengumandangkan jihad akbar melawan kezaliman militer Indonesia.

Kiban na pakat?
Jinoe awak nyan ngon teuntra gam mantong kaseb diteubit ‘iek jih. Peu lom meuseu bandum geutanyoe meusaboh droe tak jak jihad peudong agama Allah. Allahu Akbar! Beu bagaih seuleusoe masalah Aceh nyoe, peudong nanggrou Islam.

My Prayers for the Sake of ALLAH Alone
My Sacrifices for the Sake of ALLAH Alone
My Life for the Sake of ALLAH Alone, and
My Death for the Sake of  ALLAH Alone.

- ‘ISY KARIMAN AU MUT SYAHIDAN –


Wa’fu’anni ya Karim.
Wallahu a’lamu bishshawab.

0 comments