Sinyalemen yang dilontarkan Teten Masduki, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), pada harian Serambi Indonesia (Minggu, 08 Agustus 2004), sepatutnya membuat semua rakyat Aceh gelisah dan panik. Teten memprediksikan bahwa Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bakal menjadi daerah sangat miskin dan sengsara apabila dana bagi hasil sumber daya minyak dan gas (Migas) tidak dikelola dengan baik dan benar. Prediksi ini bukanlah hal yang mustahil terjadi mengingat Migas-lah sumber andalan pembangunan NAD sekarang dan pada masa akan datang. Sinyalemen negatif seperti ini tidak saja timbul dari para pakar yang menguasai data dan fakta, bahkan prediksi ini juga datang dari rakyat lapisan bawah (grassroot) yang menunjukkan kepasrahan mereka tentang kondisi pembangunan Aceh sekarang dan harapan mereka pada masa depan.


Saya masih ingat beberapa minggu yang lalu ketika pulang ke Aceh, seorang supir taksi L-300 jurusan Lhokseumawe-Banda Aceh tiba-tiba saja “curhat” dengan mengatakan dalam bahasa Aceh yang kental “Banda Aceh nyoe lam 20 thoen teuk mantong lage soet”, yang bermaksud keadaan Kota Banda Aceh ini dalam waktu 20 tahun kedepan akan masih seperti ini-ini saja (tanpa perubahan). Sebagai seorang, katakanlah, rakyat lapisan bawah (grassroot), kegelisahan dan juga sekaligus sikap komplain sang supir agaknya juga mewakili kegelisahan rakyat Aceh pada umumnya.

Memang benar, bila kita bandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia, NAD jauh tertinggal dalam hampir semua sektor kehidupan, ekonomi, dan pembangunan infrastruktur, belum lagi jika kita membandingkan dengan daerah-daerah lain yang mempunyai sumberdaya alam Migas seperti Riau dan Kaltim. Padahal dengan dana penerimaan dari Migas untuk NAD sekarang ini yang mengalami peningkatan sangat signifikan dibandingkan penerimaan Migas beberapa tahun lalu, sudah cukup untuk merubah “wajah” Aceh dari keterpurukan ekonomi dan pembangunan infrastruktur lainnya menuju Aceh yang membangun dan maju.

Pada bulan Mei 2004, saya mendapat peluang untuk studi banding ke negara kaya minyak, Uni Emirat Arab (UAE). Negara kaya minyak ini memproduksi minyak tidak kurang dari 852 juta barel per tahun, dan nilai produksi Migas ini telah memberi kontribusi ekonomi yang sangat tajam kepada negara sebesar 34 persen dari Gross Domestic Product (GDP) negara tersebut. Dengan Migas ini, UAE menjadi salah satu negara terkaya di Timur Tengah setara dengan Qatar, Kuwait, dan Saudi Arabia dengan pertumbuhan ekonomi dan proses pemodernan yang sangat cepat. Hal ini dibenarkan oleh para penduduk UAE yang saya temui yang hampir 2/3 adalah para pendatang dari Asia. Mereka mengakui bahwa sebelum penemuan Migas pada tahun 1950-an, UAE hanya negara miskin dan sangat terbelakang yang dipimpin oleh para emir (penguasa kecil) dibawah perlindungan Inggris. Sebagai contoh kota Dubai, dahulunya hanya terdiri dari bangunan-bangunan batu dan pasir yang dicampur tanah liat dengan bumbung dari pelepah kurma dan jalan-jalannya pun hanyalah lorong-lorong sempit berpasir dan berbatu. Sekarang kota-kota di UAE seperti Abu Dhabi, Dubai, dan Sharjah telah berubah wajah menjadi kota-kota metropolitan yang sangat maju dan modern setaraf dengan kota-kota besar dan modern dengan standar hidup tertinggi di dunia. Jalan-jalan pun dibangun dengan kualitas jalan tol (highway) dan tanpa dipungut bayaran dari pemakai jalan (gratis) yang menghubungkan semua kota di UAE dan juga dengan negara Oman dan Arab Saudi.

Namun apa yang terjadi di Aceh sekarang yang mana Aceh dari segi produksi Migas juga tidak begitu kalah bila dibandingkan dengan UAE? Memang sangat ironi bila kita melihat kondisi Aceh sekarang. Peningkatan yang sangat tinggi dalam APBD sekarang ini yang sebahagian besarnya adalah penerimaan dari sektor Migas, tidak diimbangi dengan realita pembagunan dan pertumbuhan di sektor ekonomi dan infrastruktur lainnya. Malahan data dan fakta menyebutkan bahwa jumlah desa miskin, jumlah pengangguran, dan jumlah anak putus sekolah di NAD adalah termasuk yang tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang sangat tepat bila Teten Masduki memberi “warning” tanda bahaya yang sesungguhnya ia adalah refleksi kegelisahan masyarakat Aceh pada umumnya tentang kemiskinan dan kesengsaraan NAD yang lebih dahsyat lagi pasca Migas bila Pemerintah NAD tidak mempersiapkan langkah-langkah strategis terhadap pemanfaatan dana Migas mulai dari sekarang.

Idealnya, Pemerintah NAD seharusnya sudah sejak dulu memikirkan dan memutuskan langkah-langkah strategis dalam pemanfaatan dan pengelolaan dana Migas ini seperti dalam pembangunan sektor pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, dan infrastruktur-infrastruktur lainnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kemandirian masyarakat lapisan bawah yang pada akhirnya akan membentuk mata rantai ekonomi yang kuat. Seiring dengan hal ini juga tentunya Pemerintah NAD harus memberi fokus yang jelas dan perhatian yang besar terhadap potensi munculnya praktik dugaan korupsi dikalangan pejabat yang cukup marak pasca penerimaan dana Migas dalam APBD Aceh. Ketidakjelasan dan kurangnya pengawasan pihak terkait dalam penyaluran dana Migas, dan ditambah lagi dengan mentalitas pejabat kita inilah yang telah membuat begitu banyak kebocoran anggaran terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam.

Seharusnya peningkatan yang besar dalam anggaran pembangunan daerah memberi kesejahteran yang signifikan pada rakyat, bukannya malah hanya memperkaya dan memakmurkan segelintir pejabat yang korup yang seharusnya mereka tidak berada dalam sistem dan roda pemerintahan NAD. Pemerintah NAD mulai dari sekarang harus berani dan tegas dalam memotong mata rantai ekonomi para koruptor atau jika tidak mereka (para koruptor di Aceh) akan membentuk suatu ekosistem mereka sendiri yang sangat solid yang akan sangat sulit diberantas dikemudian hari. Kita berkejaran dengan waktu, karena penerimaan dana Migas hanya tinggal beberapa tahun saja lagi. Bila semua sudah terlambat, an inch of gold will not buy an inch of time, kita semua rakyat Aceh akan tenggelam dalam kemiskinan dan kesengsaraan pasca Migas. Wallahu a’lam.

Sponsor:
http://bizstra.blogspot.com/

0 comments