‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan’. Kalimat ini tidaklah keluar dari mulut seorang ahli sastera ataupun pujangga, melainkan ia keluar dari seorang presiden pemimpin besar revolusi pahlawan proklamator Indonesia, Bung Karno. Bung Karno sendiri amat menyayangi kalimat ‘bertuah’ ini karena hampir dalam setiap pidatonya, beliau selalu menyebutkan dan mengulang-ulangnya.

    Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang telah melahirkan ribuan atau bahkan jutaan pahlawan, apakah yang tercatat dalam lembaran sejarah negara atau pun tidak. Bermacam panggilan telah dilekatkan pada sebutan pahlawan yang berjuang menegakkan negara Indonesia. Kita mengenal adanya sebutan pahlawan proklamasi, pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, pahlawan ampera, pahlawan supersemar, pahlawan trikora, dan ada sederet lagi sebutan yang dilekatkan padanya.


    Masih terngiang dalam ingatan kita semasa sekolah dasar dan menengah dulu sewaktu guru menanyakan “Siapakah pahlawan proklamasi kita?” Maka semua murid dengan yakin dan pasti menjawab “Soekarno – Hatta!!!” Atau ketika guru menanyakan “Coba sebutkan 10 orang pahlawan yang kamu ketahui!” Maka tanpa ragu sang murid pun menjawab “Cut Nyak Din, Cut Mutia, Teuku Umar, Tengku Chik Ditiro, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Ibu Kartini, Martha Tiahahu, dan Bung Syahrir!” Sang guru pun bangga dengan kepandaian anak muridnya dalam menjawab pertanyaan itu. Agaknya harapan presiden pertama Indonesia, bung Karno, agar bangsa Indonesia menghargai jasa para pahlawan telah terpenuhi.

Sebuah Cuplikan Keberanian Pahlawan

Dalam lembaran sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia telah tercatat kegagahan dan keberanian para pahlawan dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Betapa mereka sanggup meninggalkan harta dan keluarga menghantar nyawa ke medan perang.

    Kegagahan dan keberanian Cut Nyak Din dalam mengusir penjajah Belanda telah difilemkan oleh Eros Djarot dan memonopoli 8 piala citra yang merupakan prestasi spektakuler dalam dunia perfileman Indonesia. Kita melihat bagaimana sepak terjang Cut Nyak Din meneruskan perjuangan sepeninggal suaminya yang dibunuh Belanda. Hari demi hari terus dilaluinya tanpa kata kompromi dengan penjajah. Sampai-sampai kedua matanya buta pun ia tetap berjuang mengusir penjajah. Padahal kalau kita simak kehidupan peribadinya, beliau adalah seorang keturunan bangsawan yang sangat kaya dan sangat dihormati. Tidak ada kekurangan harta dan pangkat. Beliau adalah pemimpin masyarakat. Tapi mengapa beliau rela meninggalkan itu semua dan mengantar nyawanya untuk berperang?

    Cut Nyak Din dan juga para pahlawan yang lain mungkin tidak pernah akan menyesal telah mengorbankan nyawanya dalam memerangi Belanda. Yang patut kita tanyakan sekarang sudahkah kita menghargai jasa-jasa dan pengorbanan mereka?
   
Aceh Tanah Kelahiran Para Pahlawan

Aceh adalah lumbung pahlawan Indonesia, Aceh adalah daerah modal, Aceh adalah Serambi Mekkah dan sederet sebutan lainnya merupakan gelar-gelar yang telah disematkan Indonesia kepada propinsi paling barat tersebut. Gelar ini agaknya refleksi sejarah perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

    Ketika sang guru menanyakan 10 orang pahlawan kepada para murid yang mereka ketahui, maka 4 orang pahlawan pertama yang disebut oleh para murid berasal dari Aceh. Ini agaknya tidak berlebihan karena ada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus nama pahlawan lagi berasal dari tanah Aceh.

    Setelah kemerdekaan Indonesia pula Aceh menjadi daerah paling banyak berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Ketika Belanda kembali untuk menjajah Indonesia, maka Aceh satu-satunya daerah yang tidak berani dimasuki Belanda pada saat semua wilayah lain telah jatuh ke tangan Belanda. Pihak Belanda telah menyebutkan alasan mereka tidak memasuki wilayah Aceh karena berdasarkan sejarah peperangan Belanda di Aceh selama lebih dari 40 tahun tanpa henti, Belanda tak sanggup menguasai Aceh secara keseluruhan ditambah lagi dalam masa itu Belanda telah mengorbankan lebih 40.000 tentaranya di tangan pejuang-pejuang Aceh.

    Kebebasan tanah Aceh ini telah dimanfaatkan oleh Soekarno untuk membuat propaganda kepada pihak international bahwa Indonesia masih eksis dan memasukkan nama Indonesia ke dalam PBB sehingga Indonesia menjadi anggota PBB.

    Dalam perkembangan sejarah Indonesia berikutnya diantara sumbangan-sumbangan Aceh adalah:
1.    Tempat pemerintahan darurat
2.    Tempat stasion pemancar radio international
3.    Sumbangan dua pesawat sebagai cikal bakal Garuda Indonesia
4.    Sumbangan pembangunan monas dan bangunan lain
5.    Dan lain-lain yang tak dapat disebut satu per satu.


Apa Makna Kasus Aceh?

Dalam sejarahnya, Aceh pernah menjadi kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara dan termasuk dalam lima besar kerajaan Islam Terbesar di dunia. Pada masa jayanya Aceh telah mempunyai struktur ekonomi dan perundang-undangan yang mapan. Hukum imigrasi, hukum warganegara asing, hukum wilayah laut, hukum kriminal, hukum agraria, dan hukum-hukum lainnya telah lengkap di Aceh. Dan semua itu diatur berdasarkan hukum Islam.

    Setelah kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh telah merindui itu semua kembali terwujud di tanah Aceh: pelaksanaan Islam secara Kaffah. Berbagai usaha telah dilaksanakan dari cara diplomasi, politik, sampai cara bersenjata melalui pemberontakan. Usaha-usaha itu tidak berhasil dan memuaskan seperti yang diharapkan rakyat Aceh dan usaha itu terus dilakukan sampai sekarang.

    Malangnya, pemerintah Indonesia menganggap keinginan rakyat Aceh itu sebagai sebuah usaha yang tidak dapat ditolerir dengan alasan permintaan rakyat Aceh itu bertentangan dengan hukum Pancasila dan amanat UUD 1945 yang menyatakan tidak boleh ada hukum lain yang lebih tinggi dari Pancasila. Tidak sebatas itu saja, pemerintah menganggap keinginan rakyat Aceh itu sebagai “penyakit disintegrasi” yang boleh merambat ke daerah-daerah lain dan hal ini perlu diberantas.

    Pengiriman puluhan ribu TNI dan Polri (ada rumor yang menyatakan bahwa sepertiga daripada total personil TNI/Polri sekarang berada di Aceh) telah memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh. Hanya dalam beberapa tahun belakangan ini saja, lebih dari 10.000 rakyat Aceh dibunuh dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Ditambah lagi jumlah korban perkosaan, para janda, anak-anak yatim yang mencapai ratusan ribu orang. Ribuan bangunan pemerintahan, pendidikan, dan pertokoan telah rata dengan tanah.

    Aceh telah bersimbah darah dan air mata. Aceh yang dulunya begitu dipuji karena melahirkan banyak pahlawan dan memberi modal yang tak terkira terhadap kemerdekaan Indonesia, kini tak ubahnya menjadi tempat latihan berburu manusia. Aceh telah menjadi tempat meluahkan amarah dan kebencian. Rakyat Aceh yang merupakan keturunan para pahlawan Indonesia, kini diburu, diperkosa, dianianya, dan dimusuhi.

    Adakah rakyat Aceh telah salah meminta Islam sebagai ideologinya? Adakah rakyat Aceh telah salah menolak Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum? Adakah rakyat Aceh telah salah menganggap bahwa Pancasila tidak sama dengan Islam dan Islam tidak sama dengan Pancasila? Atau apakah rakyat Aceh sebagai bangsa tak berguna yang tak berperan apa-apa dalam perjuangan Indonesia? Apa dan kenapa?

    Masa-masa sekarang ini rakyat Aceh merasa mereka telah dipinggirkan, disisihkan, dibenci, dizalimi, dan disalahkan. Tak banyak (kalau tak boleh dikatakan tak ada) saudaranya yang prihatin, yang membantu, yang peduli atas penderitaan rakyat Aceh. Mereka diam seribu bahasa menyaksikan rakyat Aceh dibantai, diperkosa, dibunuh, dan dizalimi. Ada pula yang menyatakan itu telah menjadi resiko rakyat Aceh yang katanya ingin merdeka. Sekali lagi adakah rakyat Aceh telah salah meminta Islam secara Kaffah?

    Itulah agaknya implementasi amanah bung Karno kepada bangsa Indonesia sebagai bangsa besar untuk menghargai jasa para pahlawan: “Bunuh, perkosa, teror, dan bantai rakyat Aceh, karena mereka pahlawan Indonesia!” dan hal itu telah berhasil dilaksanakan oleh anaknya kandungnya sendiri dan seluruh rakyat Indonesia. Selamat kepada Indonesia karena telah menghargai jasa pahlawan dari Aceh dengan cara seperti ditunjukkan sekarang ini.

Wa’fu’anni ya Karim.
Wallahu a’lamu bishshawab.

0 comments