Kisah seorang kawan .... dari Aceh!
(Diceritakan kembali. Beberapa perkataan telah dimodifikasi)

Aku tidak dilahirkan sebagai anak seorang pejabat tinggi negara. Aku bukan pula dilahirkan dari kalangan keluarga kaya. Tapi aku bersyukur kepada sang Pencipta bahwa aku dilahirkan dari keluarga yang islami dan menjadi anak bangsa Aceh yang memegang teguh panji Islam dan komit kepada Islam Kaffah sebagai ideologi tunggal.

Aku dilahirkan di daerah petro dollar Aceh Utara, tepatnya di daerah Lhok Sukon. Keadaan sekeliling aku yang membuat aku terbiasa dari kecil dengan berbagai kemajuan dan pembangunan. Biasa bagiku bergaul dengan orang dari berbagai kaum termasuk dari luar negara (atau biasa dipanggil bule’) dari kecil karena aku bertetangga dengan banyak karyawan asing PT. Arun NGL. Co. atau Mobile Oil. Kebiasaan itu berakhir ketika umurku 5 tahun dimana keluarga harus pindah ke ibukota Banda Aceh.


Semua jenjang pendidikan dari SD (sebagai keluarga islami aku tidak dihantar oleh orang tuaku ke SD melainkan ke Madrasah Ibtidaiyyah Negeri atau MIN) sampai SMA (aku juga tak menempuh pendidikan di SMP dan SMA tetapi di MTsN dan MAN) aku tamatkan di Banda Aceh. Pendidikan tinggi aku tidak tamatkan di IAIN tetapi di universitas umum. Orang tuaku tak memaksa aku harus masuk IAIN melanjutkan pendidikanku dari MAN. Mungkin mereka telah menganggapku cukup dewasa untuk memilih dan meniti cita-cita hidupku. Fakultas Teknik telah menjadi pilihanku. Dan akupun telah menjadi salah seorang alumninya sekarang.

Hari-hari yang kulalui di Aceh begitu berbeda ketika aku coba menjalani hidup di Jakarta. Aku pindah ke Jakarta setelah menjalani 8 semester kuliah di Banda Aceh. Untung aku membawa dan menjaga transkrip akademik kuliahku dengan baik. Aku diterima sebagai mahasiswa di Universitas Trisakti sebagai mahasiswa pindahan. Lumayan tidak harus mengulang dari pertama. Hanya perlu dua tahun aku kuliah di Trisakti untuk menyelesaikan titel sarjana teknik.

Tentang kehidupan Jakarta telah menjadi memori tersendiri bagiku. Tantangan hidup di Jakarta begitu keras. Kehidupan bertetangga yang aku rasakan di Aceh tak wujud di Jakarta. Kehidupan individu yang diperagakan warga Jakarta ditambah lagi berbagai jenis jenayah atau kriminal yang terjadi membuat aku harus hengkang dari Jakarta. Aku tak cocok jadi penduduk Jakarta. Jakarta telah mendidik ramai orang untuk menjadi gangster atau preman tanpa belas kasihan sesama manusia telah menjadi satu alasan kepergianku dari kota metropolitan itu. Padahal setelah tamat kuliah ada keinginanku untuk bekerja di ibukota, bahkan hendak menetap di Jakarta sampai tua.

Sebagai manusia biasa, telah menjadi cita-citaku menjadi orang yang sukses dalam hidup. Aku ingin jadi orang kaya pada usia muda yang mempunyai rumah dan mobil mewah. Sebagai seorang lulusan teknik, tidak mustahil bagiku untuk meraih itu semua pada usia muda sebagaimana yang dipraktekkan ramai lulusan teknik lainnya. Aku yakin Jakarta akan membuat impianku menjadi kenyataan. Jakartalah tempat yang aku rasa sesuai untuk memulai karir.

Namun, kehidupan yang dipraktekkan Jakarta sangat bertentangan dengan rohaniku. Haruskah aku melawan hati nuraniku? Aku ingin menjadi seorang muslim yang menghargai tetangga, saling menghormati, tenggang rasa, dan menghormati hak-hak orang lain.

Aku merindukan suasana islami seperti di kampungku, Aceh. Tanpa pikir panjang dari Jakarta aku melalui jalan darat trans Sumatera menuju tanah kelahiranku. Dalam perjalanan kulewati daerah-daerah lain. Kehidupan yang hampir sama dengan Jakarta kutemui di daerah-daerah ini. Dalam perjalanan yang melelahkan selama 2 hari 2 malam, aku telah sampai di kampung yang selalu kurindukan.

Tapi kepulanganku kali ini banyak berubah. Di mana-mana kulihat banyak bangunan terbakar. Pos-pos aparat keamanan berdiri sepanjang jalan ketika memasuki perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Banyak billboard Referendum terpampang di badan-badan jalan dan dinding bangunan. Nampak olehku kampung-kampung agak sepi dibandingkan beberapa tahun lalu. Dari koran-koran ketika kuliah di Jakarta dulu memang aku membaca situasi Aceh yang bergolak. Tapi aku tak menyaksikannya sendiri.

Bersambung ………….

0 comments